PILAR KELUARGA SAKINAH

Bakhtiar, S.Sy

Berkeluaga adalah fitrah manusia. Allah SWT menciptakan semua makhluk serba berpasangan, demikian juga manusia diciptakan berpasangan. Islam sudah merencanakan sarana fitrah itu sebagai realisasi dari fitah kehidupan, yaitu dengan menganjurkan untuk menikah.

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya “perkawinan”, dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketentraman atau Sakinah dalam istilah Al-Qur’an surat Ar-Ruum (30) : 21.1

Menikah, bukan hanya sesuai dengan fitrah manusia dalam kehidupan, akan tetapi menikah adalah ibadah terhadap Allah SWT. Di dalam haditsnya Rasulullah saw. pernah bersabda,

“Barang siapa menikah, maka dia telah menguasai separuh agamanya, karena itu hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (HR. Al Hakim).2

Telah menjadi sunnatullah, bahwa setiap orang yang memasuki pintu gerbang pernikahan, apakah ia laki-laki atau perempuan, apakah ia tua ataupun muda, pada dasarnya semuanya ingin menciptakan pernikahan itu menjadi sebuah rumah tangga dan keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Rumah tangga bahagia dan sejahtera, yang dikenal dengan istilah rumah tangga “SAMARA” (sakinah, mawaddah, dan rahmah) merupakan dambaan bagi setiap insan yang menginginkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Dalam bahasa Arab, kata “sakinah” di dalamnya terkandung arti “tenang”, “terhormat”, “aman”, “penuh kasih sayang”, “mantap dan memperoleh pembelaan”.3

Keluarga sakinah merupakan subsistem dari system social. Sayangnya, banyak orang ingin mendapatkan hasil tanpa mau membayar harganya. Membangun rumah tangga Islami memerlukan kerja keras dari seluruh anggota keluarga, yang didominasi oleh suami dan istri sebagai pemimpin di dalam rumah tangga.

Istilah Keluarga Sakinah diambil dari Surat Ar-Ruum ayat 21 :

“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Kata sakinah berasal dari asal kata “ سكن “ yang berarti tanah damai. Kata ini kemudian dijadikan sebagai nama kegiatan (isim masdar) “  سكينة"

Atas dasar pengertian tersebut Keluarga Sakinah adalah keluarga yang dibina berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan material yang layak, mampu menciptakan suasana cinta kasih sayang (mawaddah warahmah) selaras, serasi dan seimbang serta mampu menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, amal sholeh, dan akhlaqul karimah dalam lingkungan keluarga sesuai dengan ajaran Islam.

Dengan demikian, pada dasarnya Keluarga Sakinah adalah keluarga yang tentram, bahagia dan sejahtera. Keluarga demikian akan terwujud manakala segala kebutuhan dasarnya, baik lahiriyah maupun batiniyah telah terpenuhi secara cukup memadai. Padahal Islam datang hanya semata-mata untuk membahagiakan dan mensejahterakan umat manusia. Diantara tatanan yang rinci tersebut ada beberapa pilar utama yang perlu dicermati, khususnya oleh mempelai :

  1. Calon mempelai adalah bibit unggul, yang keunggulannya hanya didasarkan pada 4 kriteria yaitu agama, rupa, harta dan status atau tahta. Namun agama adalah yang menentukan segalanya. Orang yang menikahi wanita hanya karena harta dan kecantikannya, pasti Allah akan merampas harta dan kecantikannya. Sebaliknya, orang yang menikahi wanita karena agamanya niscaya Allah akan memberikan karunia harta dan kecantikannya.
  2. Management keluarga diatur atas dasar kepemimpinan Suami, yang dipadu dengan kesetiaan dan kepatuhan seorang istri. Ciri kepemimpinan Islam adalah tanggung jawab, keteladanan, pengayoman dan pelayanan saling pengertian, bukan otoritas dan kekuasaan. (QS. 4 : 34)
  3. Selalu bertahkim kepada Al Qur’an dan As Sunnah, lebih-lebih dalam menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul. Tidak ada masalah yang tak terselesaikan dengan hasil dan akibat terbaik, asal tetap komit dan konsisten dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
  4. Selalu positif thinking, Husnudzan dalam melihat segala sesuatu dari aspek nikmatnya, bukan sebaliknya. Melihat yang dibawah, bukan yang diatas. Dengan begitu kita akan selalu bersyukur, dan itulah modal utama dan terutama kebahagiaan hidup.
  5. Saling belomba dalam kebajikan, maaf memaafkan dan siap mengakui kesalahan, bukan mengkalim kebenaran sendiri, sebab yang pasti benar hanyalah dari Allah, dzat yang Maha Benar , dan RasulNya yang Amin.
  6. Bapak atau Ibu, Suami atau istri harus menjadi pendidik pertama dan utama, sekaligus menjadi teladan dan idola anak, sebab setiap anak pasti dilahirkan atas fitrah yang suci, sedang orang tua adalah orang pertama yang akan mewarnai firah tersebut.
  7. Hidupi keluarga denga rizki yang halal, sebab darah daging yang tumbuh dari rizki haram pasti jauh dari Allah, dekat dengan syetan dan malapetaka.
  8. Menghisasi rumah tangga dengan shalat, do’a, dzikir, bacaan Al Qur’an, puasa, infaq, gemar membaca dan cinta ilmu.
  9. Membentegi rumah tangga dari ancaman api neraka, dengan sikap yang konsisten tehadap perintah dan larangan Allah.
  10. Memilihkan lembaga pendidikan anak yang menyajikan dan menjanjikan iman, ilmu dan amal, serta membatasi seminimal mungkin pengaruh lingkungan yang tidak Islami, sekaligus selalu memantau dan waspada terhadap istri dan anak yang bisa menjadi fitnah, musuh dan cobaan.

Catatan Kaki: