KELUARGA SAKINAH VS MODERNISASI

Bakhtiar, S.Sy

Keluarga sebagai unit sosial terkecil seringkali diuji ketahanannya oleh munculnya nilai-nilai baru yang berbentuk seiringan dengan proses modernisasi di era sekarang ini. Pola hidup modern telah melahirkan bebagai perilaku yang mempertanyakan validitas tatanan lama yang berlaku dalam sistim berkeluarga kita, karenanya, nilai dan tradisi yang dijadikan pedoman oleh masyarakat dalam mengatur kehidupan berkeluarga mulai menampakkan pergeserannya.

Kemajuan teknologi informasi yang kehadirannya sangat dibutuhkan sebagai alat untuk memperluas wawasan mereka ternyata juga membawa dampak negatif. Teknologi tersebut telah mempercepat proses masuknya pengaruh budaya asing kedalam setiap elemen dalam jaringan kehidupan keluraga.

Dalam kondisi seperti itu muncul berbagai prilaku menyeleweng yang dapat mengancam keharmonisan hidup berkeluarga. Berbagai media informasi hampir setiap waktu mencatat aneka ragam kasus penyelewengan seksual. Diantara kasus-kasus tersebut yang paling menonjol adalah :

1. Perselingkuhan

Sebuah harian yang terbit seperti Bali Post dan Jawa Post hampir pada setiap edisinya selalu merekam peristiwa penyelewengan seksual dimaksud. Perselingkungan yang ramai diperbincangkangkan saat ini adalah bukti adanya ekspansi penyakit penyelewengan seksual di masyarakat kita. Perselingkuhan sebetulnya bukan tindak perzinahan biasa. Kehadirannya sebagai fenomena kontemporer membuktikan rapuhnya lembaga keluarga. Disamping itu perselingkuhan juga sebuah sikap pengabaian terhadap doktrin kesetiaan yang sebelumnya dijunjung tinggi dan melandasi hubungan suami dan istri dalam sebuah keluarga.

Perlu disebutkan bahwa perselingkuhan tampaknya sudah dianggap sebagai bagian dari gaya hidup modern. Perbincangan tentang perselingkuhan di berbagai forum dan media nyaris tidak dibarengi dengan upaya pencarian solusinya. Pembahasan tentang perselingkuhan umumnya menitik beratkan pada perselingkuhan sebagai fenomena sosiologis yang timbul karena adanya perubahan pesepsi terhadap nilai-nilai konfensional yang ada pada lembaga keluarga.

Para ahli yang sering dilibatkan dalam membahas persoalan tersebut umumnya bukan dari kalangan yang memiliki wawasan ilmu agama yang memadai. Dengan begitu maka analisis mereka menjadi sangat bernuansa sosiologis cultural yang kering dari pertimbangan moralitas agama yang secara empirik telah ikut dalam membentuk kepribadian keluarga di masyarakat kita. Yang lebih mengecewakan lagi adalah bahwa organisasi-oraganisasi keagamaan melalui wadah kaum wanitanya, belum maksimal dalam melakukan upaya proaktif terhadap pembahasan problem keluarga kontemporer yang telah menggugat eksistensi lembaga keluarga dimana mereka adalah pemegang peran kunci.

2. Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja yang sering timbul akhir-akhir ini, misalnya tawuran antar pelajar SMU di kota-kota besar, juga membuktikan gagalnya keluarga dalam membentuk kepribadian yang tangguh bagi kaum remajanya. Penyebab munculnya kenakalan tersebut memang sangat komplek, sekomplek kehidupan social masyarakat kita yang sedang mengalami proses perubahan. Perkembangan kejiwaan para remaja telah ikut diwarnai oleh nilai-nilai eksternal yang mengalir kedalam lingkungan keluarga mereka melalui media informasi. Remaja yang sedang mengalami proses pematangan kejiwaan memang sangat sensitif dengan symbol-simbol modernitas dan karenanya mudah terperangkap kedalam pola hidup alternatif. Dengan begitu maka terjadilah proses inseminasi mentalitas baru yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang diajarkan melalui lembaga keluarga mereka.

Anak muda, misalnya banyak yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan obat terlarang. Kalangan muda merupakan pelanggan utama tempat-tempat hiburan malam, dimana sindikasi obat terlarang melakukan operasinya keterlibatan mereka dalam aktifitas tersebut bisa dilihat dari usia para pengedar serta pemakai obat-obat terlarang yang terjaring dalam berbagai rahazia.

Longgarnya antara hubungan individu yang tebentuk sebagai akibat logis dari budaya permisif telah mendorong munculnya pergaulan bebas. Pergaulan bebas sering dianggap sebagai penyebab terjadinya praktek seksual pra-nikah (premarital sex) di kalangan anak-anak sekolah. Sekalipun dalam tulisan ini tidak bisa dikemukakan data autentik tentang tinggi atau rendahnya angka anak sekolah yang telah melakukan hubungan sek pra-nikah, kenyataan bahwa terdapat kelompok “Perek” dikalangan mereka membuktikan luasnya kebebasan seks yang terhampar di hadapan para remaja tersebut. “Perek” adalah pelajar putri yang masih aktif bersekolah di jenjang SMU, namun dalam waktu yang sama juga berprofesi sebagai penjaja seks. Ini membuktikan bahwa sekolah telah kehilangan otoritasnya sebagai lembaga pembendung munculnya tindakan asusila yang secara teori bisa dideteksi, jika sekolah tetap mengedepankan misinya sebagai benteng nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Modernisasi yang sedang gencar-gencarnya dilaksanakan dewasa ini ternyata juga membawa dampak negatif terhadap moralitas dan perilaku masyarakat kita. Nilai-nilai baru yang dibawa oleh arus modernisasi telah merubah persepsi mereka terhadap tatanan social yang sudah menjadi norma kehidupan mereka sebelumnya. Perubahan persepsi tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tindak penyelewengan yang mencemari lembaga keluarga. Berbagai gangguan keluarga tampaknya bisa berubah menjadi sebuah penyakit “epdemik”, jika tidak segera dilakukan upaya penanggulangan yang sepadan dengan tingkat agresifitas penyakit-penyakit social tersebut.

Praktek penyimpangan seperti telah disinggung di depan merupakan penyebab utama lahirnya ketegangan hubungan antar warga dalam sebuah keluarga. Penyelewengan seksual tak pelak lagi bisa menghilangkan kepercayaan suami kepada istrinya dan juga sebaliknya hingga kelestarian komitmen mereka untuk tetap berasosiasi dalam institusi keluarga di masa selanjutnya bisa terancam.

Krisis moral yang menimpa para remaja sebagaimana tercermin dalam berbagai perilaku penyimpangan adalah juga dampak negatif dari proses modernisasi. Keluarga sudah bukan lagi sebagai pemegang otoritas tunggal dalam proses pembentukan kepribadian mereka. Sumber nilai lain yang menawarkan budaya alternatif juga ikut mewarnai kepribadian sebagian remaja kita. Ini berarti bahwa dampak negatif dari modernisasi telah memasuki tempat-tempat yang seharusnya menjadi benteng untuk melestarikan nilai-nilai normatif dalam kehidupan berkeluarga.


KELUARGA SAKINAH MERUPAKAN SUATU HARAPAN

Keluarga merupakan lembaga pendidikan (baik untuk anak/orang tua) yang paling murah dan trategis. Munculnya PIL dan WIL dalam realitas kehidupan rumah tangga adalah diakibatkan oleh adanya polusi pendidikan dan transformasi nilai yang mulai dikesampingkan dalam menajemen rumah tangga.

Keluarga merupakan institusi yang handal untuk menangkal kenakalan remaja. Hal ini dapat tercipta manakala interaksi dan komunikasi baik antara suami dan istri maupun antara mereka dan anak-anaknya senantiasa terjalin secara akrab dan kontinu serta tersedianya waktu yang cukup. Sebab disadari atau tidak munculnya kenakalan remaja dan tindak kriminalitas lainnya lebih banyak dilator belakangi oleh menjamurnya para remaja yang tidak betah di rumah, yang bila ditelusuri secara kritis bermuara dari minimnya perhatian orang tua terhadap putera putrinya.

Keluarga yang harmonis, damai dan tenteram merupakan kewajiban yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya, sebab dalam dunia yang global seperti ini nilai-nilai keluarga yang Islami yang penuh dengan manajemen Mawaddah Wa Rahmah merupakan filter yang paling ampuh untuk mensikapi nilai-nilai globalis yang hampir setiap saat datang menghantui kehidupan manusia.

Syariat Islam secara umum telah memberikan ketentuan-ketentuan normative yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah. Sedikitnya, ada 4 indikator Keluarga Sakinah, yaitu :

1. Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina berdasarkan perkawinan yang Legal (sah).

Artinya adalah perkawinan yang memenuhi syarat, baik secara etis, moral, lebih-lebih nilai spiritual yang diyakini sebagai modal untuk menciptakan Keluarga Sakinah dan sebaliknya perkawinan yang dibangun di atas fondasi yang rapuh, terlebih lagi perkawinan itu berlangsung karena suatu kecelakaan (hamil lebih dini) dimungkinkan akan menjadi penghalang terhadap realisasi keluarga sakinah dimaksud.

Memang secara fenomena, mulai muncul image bahwa perkawinan hanya sebatas proklamasi formal yang bersifat sosiologis semata, padahal sebenarnya perkwinan (nikah) merupakan perjanjian manusia dengan Allah.

2. Keluarga Sakinah adalah keluarga yang mampu memenuhi hajat spiritual dan material yang layak.

Maksudnya komponen-komponen keluarga dapat berfungsi secara maksimal proporsional sesuai dengan prinsif-prinsif ajaran agama, misalnya prinsif keseimbangan dan kebersamaan.

3. Keluarga Sakinah adalah keluarga yang mampu menciptakan cinta kasih dan kasih sayang (Mawaddah Wa Rahmah).

Mawaddah dan Rahmah ini adalah suatu yang sangat ideal. Artinya sungguh indah dan betapa bahagianya jika pasangan suami istri itu diikat dengan mawaddah dan rahmah sekaligus. Sebab mawaddah dalam bahasa Arab mempunyai arti kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Jadi cinta mawaddah adalah cinta yang menggelora, mendalam, luas dan bersih dari pikiran dan kehendak buruk. Sedangkan rahmah dalam hal ini mengandung pengertian kasih sayang, dimana masing-masing pasangan menerima dengan hati yang tulus dari segala hal yang tidak disukainya. Keluarga yang mampu mengoptimalkan Mawaddah dan Rahmah inilah yang bisa merasakan rumah tangga bagaikan sorga, yang oleh Rasulullah disebut “Baiti Jannati”.

4. Keluarga Sakinah adalah keluarga yang mampu menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakulkarimah dalam kelurga dan lingkungannya.

Maksudnya agar orang tua senantiasa mendidik putra putrinya dengan penuh kassih sayang atau berpijak pada prinsif asih, asah dan asuh agar pada gilirannya putra-putri tersebut dapat membiasakan selalu respek dan hormat kepada orang tuanya.1


Catatan Kaki:

[1] Mashuri Kartubi, Baiti Jannati, Yayasan Fajar Islami, 2010. Hlm. 91