HAKEKAT PERNIKAHAN

Bakhtiar, S.Sy

Nikah sebagai langkah awal dari pembentukan keluarga pada dasarnya adalah akad perjanjian dihadapan Allah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dan berpasangan, dalam upaya menggapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera.

Diantara sistem Allah dalam menciptakan dan memelihara keharmonisan alam semesta adalah menciptakan segala sesuatu (tanpa kecuali) dalam keadaan berpasang-pasangan dan berjodoh-jodoh. Sistim atau sunah ini berlaku pada dunia apapun, baik dunia flora, fauna, fisika, apalagi dunia manusia. Bahkan juga berlaku pada dunia yang belum kita jangkau sampai saat ini.1 Sesuai dengan firman Allah dalam surat Yasin, 36:36 :

“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

Dengan demikian, hidup berkeluarga adalah bagian integral dan menentukan bagi keharmonisan tatalintas alam semesta. Sebab ditangan manusialah dipertaruhkan alam semesta ini. Dialah khalifah yang mewakili kuasa Allah dimuka bumi. Karenanya pula, mengabaikan hidup berkeluarga sebagai sunah Allah pasti akan menimbulkan dampak yang sangat serius, ketidak harmonisan alam bahkan bencana yang mengerikan.

Hari ini kita dikenalkan dengan contoh konkrit akibat pelecehan terhadap lembaga nikah, yaitu merajalelanya penyakit yang sangat mengerikan dan menghantui dunia modern ini dengan rasa takut yang tak kunjung reda, yaitu AIDS. Sudah barang tentu dan bisa dipastikan pula, bahwa ketidak harmonisan kehidupan keluarga atau rumah tangga akan berdampak langsung pada kebobrokan lingkungan hidup.

Nikah Sebagai Sunnah Nabi

Nikah disamping sebagai sunah Allah yang berlaku bagi semesta alam, juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sunah dan ajaran Rasulullah SAW. Sabda beliau :

“Nikah adalah sunnahku (tuntunanku). Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku (itu) bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Ibnu Majah).

Nikah sekaligus juga bernilai Ibadah kepada Allah SWT. Kata Nabi :

“Barang siapa yang telah melangsungkan pernikahan, berarti telah menjalankan dengan sempurna separoh ajaran agama ini, sisanya yang setengah lagi hendaklah diisi dengan takwa kepada Allah”. (HR. Hakim).2

Karenanya, siapapun yang mengabaikan pernikahan, atau tidak mau berkeluarga, sepantasnya tidak boleh mengaku sebagai umat Islam atau umat Nabi Muhammad SAW.

Nikah Sebagai Hak Azazi Mahluk Hidup

Hidup berpasangan atau berjodoh-jodoh (nikah) satu sisi sebagai sistem Allah yang berlaku bagi tatalitas alam semesta sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an dalam surat Yasin ayat 36, pada sisi lain adalah kebutuhan, bahkan Hak Azazi setiap makluk, apalagi makhluk hidup seperti manusia. Karenanya, tidak aneh kalau tidak sedikit orang yang maunya selalu dan minimal sering kawin, tanpa diperintah atau diajari sekalipun. Namun sering pula lupa diri dan sering lupa kontrol, sehingga pokoknya kawin meski tanpa nikah, naudhubillah.

Sebab pernikahan adalah salah satu kebutuhan biologis kita yang sangat azazi. Maka adalah sangat pas, logis bahkan strategis kalau Islam sebagai agama fitrah concern terhadap masalah ini. Dijadikannya nikah sebagai sarana ibadah, sunnah Allah dan Rasul, dan karenanya untuk disiapkannya tatanan-tatanan dan pranata-pranata untuk melangsungkannya dan dimudahkan prosesnya, maka bukan saja calon mempelai yang diseru untuk menikah, bahkan umat secara keseluruhan, lebih khusus para orang tua dan wali diperintahkan untuk sesegera mungkin menikahkan para bujangan yang dalam firmannya sudah layak menikah, baik orang bisa maupun para budak sekalipun. Sebagaimana firman Allah :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”. (QS. 24:32).

Dengan cukup tegas ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa faktor ekonomi tidak boleh menghambat pernikahan, dan tidak boleh dibuat alasan untuk tidak menikah atau menunda-nunda pernikahan. Secara implisit kita juga diingatkan bahwa kondisi membujang tidak boleh dibiarkan, sebab kebutuhan biologis adalah fitrah setiap manusia normal yang tidak boleh dipasung. Karena kondisi membujang adalah kondisi yang harus diwaspadai.

Para pemuda juga disuruh oleh Rasulullah agar segera menikah bila mampu dan layak, sebagaiamana sabda Rasul :

“Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu atau layak menikah hendaklah segera menikah, sungguh nikah itu lebih mampu menahan pandangan dan nafsu syahwat terhadap yang haram. Bila belum mampu, hendaklah berpuasa, hendaklah berpuasa, karena puasa itu sebagai benteng pengendali atau penahan. (HR. al Jamaah).3

Prosesi Nikah Sederhana dan Mudah

Islam juga dengan sengaja membuat tatanan-tatanan yang memudahkan prosesi nikah begitu sederhana dan mudah, namun terhormat dan tetap menjamin dan terpelihara harkat dan martabat manusia sebagai makhluk termulia dan dimuliakan. Hanya ada empat rukun (sendi utama) yang harus dipenuhi dalam prosesi nikah dalam Islam.

a. Wali nikah, yaitu bapak mempelai wanita atau yang berhak mewakili sebagai ketentuan agama.

b. Dua orang saksi laki-laki.

c. Mahar atau maskawin, yang semakin mudah dan mudah semakin baik. Bahkan kalau terpaksa cincin dari kawat besi pun jadi, juga boleh dikredit, dihutang atau dibayar tunai.

d. Ijab Kabul antara wali dan mempelai pria, yang intinya wali menikahkan mempelai pria dengan wanita yang ia menjadi walinya dengan mahar tertentu, sementara memepelai pria menjawab menerima nikahnya dengan mahar tersebut.4

Demikian ini tidak lain, karena nikah adalah kebutuhan dan hak azazi manusia dan lebih dari pada itu adalah perintah Allah. Sementara Agama ini mengiginkan dan menghendaki kemudahan bukan kesulitan.

Nikah adalah Janji Yang Sangat Berat (Mitsaahqon Ghalidhah)

Meskipun nikah itu sederhana mudah dan dimudahkan oleh Isdlam, bukan berarti nikah bisa dianggap remeh atau dipermainkan. Karenanya Allah SWT, mengingatkan bahwa nikah itu berarti kesiapan untuk menerima janji Allah yang sangat berat (Mitsaqon Ghalidha) dengan segala konsekwensinya. Mengapa nikah yang mudah dan enak itu menjadi janji yang berat ? Sebabnya antara lain :

1. Istri adalah amanah dari Allah SWT, yang harus dipertanggung jawabkan kepadaNya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Takwa dan takutlah kepada Allah serta berhati-hati dalam masalah Istri. Karena sesungguhnya kamu telah mengambilnya dengan Amanah Allah. Dan kau halalkan kehormatannya dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim).

Ini berarti bahwa suami telah mencabut hak orang tua atas anaknya dengan amanah Allah, dan telah menghalalkan yang haram atas nama dan seizing Allah.

2. Masalah nikah adalah masalah generasi umat manusia mendatang. Keluarga akan mencetak mereka, dan kepada keluarga itu pula dipercayakan dan dipertaruhkan kualitas generasi penerus. Apalagi kalau kita selalu menyadari, bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, Negara dan bangsa. Tidak seorang pun yang bukan alumni pendidikan keluarga atau rumah tangga



Catatan Kaki: